Dewasa ini hutan rakyat atau yang sering dikenal dengan hutan adat acap
kali menuai konflik, dan banyak juga pihak-pihak yang terkait ikut campurtangan
dalam mengelola hutan masyarakat. Sehingga masyarakat yang seharusnya mengelola
hutan mereka sendiri tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan hanya sekedar menjadi
penonton di tanah mereka sendiri.
Beberapa konflik yang
terjadi pada hutan adat dari tahun-ketahun tidak satupun yang
mendapat perhatian khusus dari pemerintah bahkan saat ini konflik antar
masyarakat adat dengan perusahaan tidak menuai kesepakatan yang kongkrit
sehingga masyarakat hanya bisa melihat hutan adatnya dikelola oleh perusahaan.
Konflik
Yang Terjadi Atas Hutan Desa
Beberapa konflik yang terjadi saat ini salah satunya adalah permasalahan
hutan yang ada didaerah Talang Mamak Desa Talang Durian Cacar. Dimana desa ini dulunya memiliki hutan adat, hutan adat untuk didesa
mereka sangat bermanfaat sekali salah satunya adalah sebagai mata pencaharaian
masyarakat yang ada didesa ini. Bahkan mereka menggunakan isi hutannya untuk dipergunakan
sebagai obat-obatan tradisional, bahkan bukanhanya sekedar obat-obatan
tradisional saja yang mereka gunakan tetapi rotan yang ada didalam hutan juga
mereka gunakan sebagai lantai rumah ataupun dijadikan sebagai pentutup dinding.
Dimana rumah tradisional tersebut memang dominan sekali dengan penggunaan rotan
sebagai bahan pelengkap rumah tradisional mereka.
Namun keadaan hutan adat mereka saat ini sudah bisa
dikatan 0,00% hal ini dikarenakan hutan desa di talang durian cacar ini sudah
beralih fungsi. Beberapa konflik lain ditempat yang berbeda sering terjadi tak
hanya di talang durian cacar, namun hampir dibelahan Provinsi konflik ini
sering terjadi, bahkan tidak main-main konflik tersebut mengakibatkan biang
dari kerusuhan dimana permasalahannya yang tak kunjung selesai.
Pihak pertanahan dan Mentri Kehutanan sendiripun dalam
penyelesaian masalah ini juga tak memandang ini sebagai konflik sosial, pihak
pertanahan dan Menhut hanya mengacu pada siapa pemilik sah dengan
memperlihatkan bukti adanya surat kepemilikan atau surat siapa yang memiliki
izin.
Lalu bagaimana dengan masyarakat yang tinggal
dikawasan tersebut dari tahun ketahun, bahkan mereka mengaku bahwa leluhur
mereka beranak pinak didalam kawasan tersebut, dan mereka juga memiliki hak
untuk menyatakan bahwa itu adalah tanah mereka. Sampai saat ini tidak ada
solusi kongkrit yang diberikan pihak
pertanahan ataupun dari pihak kehutanan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Apa Itu Hutan Rakyat?
Berbicara mengenai hutan rakyat atau hutan adat ini
sebaiknya kita telaah dahulu apa sebenarnya hutan rakyat atau hutan adat
tersebut. Menurut suber yang dilansir dari Wikipedia menyatakan bahwa Hutan
rakyat adalah hutan-hutan
yang dibangun dan dikelola oleh rakyat. Kebanyakan berada di atas tanah milik atau tanah adat
meskipun ada pula yang berada di atas tanah
negara atau kawasan
hutan negara.
Secara teknik,
hutan-hutan rakyat ini pada umumnya berbentuk wanatani
yakni campuran antara pohon-pohonan dengan jenis-jenis tanaman bukan pohon.
Baik berupa wanatani sederhana, ataupun wanatani kompleks (agroforest)
yang sangat mirip strukturnya dengan hutan alam.
Ada beberapa macam hutan rakyat
menurut status tanahnya. Di antaranya:
1. Hutan milik, yakni hutan rakyat yang dibangun di
atas tanah-tanah milik. Ini adalah model hutan rakyat yang paling umum,
terutama di Pulau Jawa. Luasnya bervariasi, mulai dari
seperempat hektare atau kurang,
sampai sedemikian luas sehingga bisa menutupi seluruh desa dan bahkan melebihinya.
2. Hutan adat, atau dalam bentuk lain: hutan desa,
adalah hutan-hutan rakyat yang dibangun di atas tanah komunal;
biasanya juga dikelola untuk tujuan-tujuan bersama atau untuk kepentingankomunitas setempat.
3. Hutan kemasyarakatan (HKm), adalah hutan rakyat yang dibangun di atas lahan-lahan milik negara, khususnya di atas kawasan
hutan negara. Dalam hal ini, hak pengelolaan atas
bidang kawasan hutan itu diberikan kepada sekelompok warga masyarakat; biasanya
berbentuk kelompok tani hutan atau koperasi. Model HKm jarang disebut sebagai
hutan rakyat, dan umumnya dianggap terpisah.
Hutan rakyat zaman sekarang telah banyak yang dikelola
dengan orientasi komersial,
untuk memenuhi kebutuhan pasar komoditas hasil hutan. Tidak seperti pada masa lampau, utamanya
sebelum tahun 1980an, di mana kebanyakan hutan rakyat berorientasi subsisten,
untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga petani sendiri.
Sejarah Pengelolaan Hutan Rakyat
Pengelolaan
hutan rakyat secara komersial telah dimulai semenjak beberapa ratus tahun yang
silam, terutama dari wilayah-wilayah di luar Jawa. Hutan-hutan atau tepatnya,
kebun-kebun rakyat dalam rupa hutan ini menghasilkan aneka komoditas
perdagangan dengan nilai yang beraneka ragam. Terutama hasil-hasil
hutan non-kayu (HHNK).
Bermacam-macam jenis getah dan resin, buah-buahan, kulit kayu dan lain-lain.
Bahkan kemungkinan aneka rempah-rempah yang menarik
kedatangan bangsa-bangsa Eropah ke Nusantara,
sebagian besarnya dihasilkan oleh hutan-hutan rakyat ini.
Belakangan ini
hutan-hutan rakyat juga dikenal sebagai penghasil kayu yang handal. Sebetulnya, semua jenis hutan rakyat juga
menghasilkan kayu. Akan tetapi pada masa lalu perdagangan kayu ini ‘terlarang’
bagi rakyat jelata. Kayu mulai menjadi komoditas diperkirakan semenjak zaman VOC,
yakni pada saat kayu-kayu jati dari Jawa diperlukan
untuk membangun kapal-kapal samudera dan benteng-benteng bagi kepentingan perang dan
perdagangan. Pada saat itu kayu jati dikuasai dan dimonopoli oleh VOC dan raja-raja Jawa. Rakyat jelata terlarang untuk
memperdagangkannya, meski tenaganya diperas untuk menebang dan mengangkut
kayu-kayu ini untuk keperluan raja dan VOC.
Monopoli kayu
oleh penguasa ini dilanjutkan hingga pada masa kemerdekaan. Di Jawa, hingga
saat ini petani masih diharuskan memiliki semacam surat pas, surat izin
menebang kayu dan surat izin mengangkut kayu; terutama jika kayu yang ditebang
atau diangkut adalah jenis yang juga ditanam oleh Perum Perhutani. Misalnya jati, mahoni, sonokeling, pinus dan beberapa jenis lainnya. Di luar Jawa hak untuk
memperdagangkan kayu sampai beberapa tahun yang lalu masih terbatas dipunyai oleh HPH-HPH,
sebagai perpanjangan tangan negara.
Mengacu pad a
penjelasan UU 41/1999 tentang Kehutanan, khususnya pada penjelasan pasal
5, Prinsip dasar dari Hutan Desa hutan negara yang dimanfaatkan oleh desa membuka akses bagi desa-desa tertentu,
tepatnya desa untuk kesejahteraan masyarakat desa. Selanjutnya di hutan, terhadap hutan-hutan negara yang masuk
dalam PP 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan wilayah. Hutan Desa dapat dijadikan sebagai
tawaran kompromi terhadap tuntutan pengakuan hutan adat yang sampai saat ini
belum banyak mengalami kemajuan.
Beberapa konflik yang terjadi pada hutan adat
disebabkan oleh permasalahan tata batas yang tidak jelas antara masyarakat
sendiri dengan pihak luar, pelanggaran adat oleh pengusaha hutan, ketidak
adilan aparat pengak hukum dalam menyelesaikan persoalan, hancurnya penyongkong
kehidupan masyarakat adat dan masyarakat adat sekitar hutan karena semakin
rusak dan sempitnya hutan, tidak ada kontribusi positif pengelolaan hutan
selama ini terhadap masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan, serta
perusahaan tidak melibatkan masyarkat adat dan masyarakat sekitar hutan dalam
pengusahaan hutan.
Dewasa
ini pemerintah Indonesia memberikan program Hutan Tanaman Rakyat (HTR) berupa pemberian izin
pengelolaan lahan hutan dan pemberian kredit lunak kepada petani atau koperasi
untuk dikelola dengan tanaman hutan yang produk utamanya adalah kayu. Sumber harian Kompas
(6/4/10) menyatakan bahwa pemerintah mengalokasikan lahan seluas 480.303 hektar
hutan tanaman produksi untuk pengembangan program hutan tanaman rakyat. Program ini bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan bahan baku kayu untuk industri pengolahan terutama kayu
rakyat yang kebutuhannya terus meningkat. Tahun 2008, industri kayu menyerap
2,01 juta meter kubik atau 6,07% dari total pemanfaatan kayu Nasional sebesar
33,2 juta meter kubik. Angka tersebut meningkat menjadi 3,2 juta meter kubik di
tahun 2009 atau 9,25% dari total pemanfaatan kayu nasional sebesar 34,6 juta
meter kubik.
Pemerintah mengedepankan
program pengembangan industri kehutanan berbasis kayu rakyat dengan anggaran
sekitar Rp. 3 trilyun per tahun. Di samping itu, pemerintah mengundang investor
untuk memanfaatkan Pembiayaan Program Investasi Kehutanan Dana Investasi Iklim sebesar US$ 80 juta.
Dana tersebut berbunga 0,25%
per tahun dan bertujuan untuk mendukung proyek pengurangan emisi karbon yang
berasal dari kawasan hutan. Teknisnya, dana tersebut dipinjamkan ke petani dan
koperansi sebesar Rp. 8 juta per hektar lahan per tahun selama delapan tahun.
Setidaknya pemerintah
memperoleh beberapa keuntungan antara lain suplai kayu dalam beberapa tahun ke
depan diharapkan dapat memenuhi permintaan pasar sehingga mendorong pertumbuhan
industri pengolahan kayu Indonesia. Selain itu, program ini juga membantu
pemerintah untuk memperbaiki hutan yang sebagian sudah rusak karena penebangan
hutan yang tidak terkendali di masa lalu.
Sudah menjadi rahasia umum
bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat pengrusakan hutan
terparah di dunia. Bagi masyarakat tentu hal ini merupakan peluang usaha untuk
meningkatkan pendapatan melalui penanaman tanaman hutan.
Masyarakat yang memegang izin
HTR berhak mengelola lahan selama 60 tahun dan dapat diperpanjang 35 tahun
lagi, tapi lahan tidak dapat diwariskan, diperdagangkan, diagunkan ke Bank, dan
di bersihkan sehingga secara hukum tanah merupakan milik Negara.
HTR yang sudah diberikan
izinnya antara lain di Nabire, Halmahera Selatan, Konawe Selatan, Sumbawa,
Gunung Kidul, Kotawaringin Barat, Tebo, Kaur, Ogan Komering Ilir, Mandailing
Natal dan Aceh Utara.
Kementrian Kehutanan
mengalokasikan total 500.000 hektar hutan produksi yang rusak per tahunnya
untuk dikelola masyarakat melalui HTR, Hutan kemasyarakatan, dan hutan desa di
daerah aliran sungai. Masyarakat dan koperasi yang tertarik dapat mengajukan
izin HTR kepada Menteri Kehutanan melalui Bupati setempat.
Untuk menghasilkan nilai
ekonomis yang lebih, maka pemilihan tanaman yang akan ditanam di areal HTR
memegang peranan vital. Sebaiknya dipilih tanaman yang memiliki hasil ekonomis
di luar kayu sehingga pendapatan petani tetap ada sambil menunggu tanaman di
panen kayunya. Contoh nyata adalah tanaman pinus yang dapat diambil getahnya
sebelum kayunya di panen.
Tanaman lain yang lebih
realistis adalah karet. Tanaman ini pada habitat aslinya adalah tanaman hutan
di Basilia sehingga sangat sesuai dengan konsep HTR. Selain itu, tanaman karet
tetap dapat dipanen getahnya sebelum kayunya diambil sehingga pendapatan petani
sehari-hari dapat terjamin.
Saat ini beberapa klon telah
diciptakan untuk dipanen getah dan kayunya. Kayu karet juga sudah terbukti
dapat mensubtitusi kayu hutan dengan kualitas sepadan walaupun untuk kayu-kayu
tertentu kualitasnya belum sebanding tapi setidaknya kayu karet ke depan
memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Bahkan sebuah konsorsium
BUMN perkebunan membangun perkebunan karet dengan pendekatan Hutan Tanaman
Industri yang menunjukkan komoditi ini memang reasonable untuk diterapkan. Walaupun konsep
pengembangannya adalah HTR, namun karena petani juga mengharapkan getahnya,
maka penggunaan bibit dan pengelolaannya seharusnya menggunakan pendekatan
perkebunan sehingga margin keuntungan dapat diperoleh.
Peluang masyarakat terhadap hutan desa pada saat ini
memiliki peluang yang cukup besar, namun perlu dilkaukannya upaya yang ekstra
dalam menjaga hutan ini dari perusahaan
yang rakus kayu dan rakus akan lahan.
“Saat ini peluang
masyarakat desa terhadap hutan desa memiliki peluang yang besar untuk
mendapatkan akses legal dalam mengelola hutan dari masyarakat cukup besar, dan
hal ini dapat dilaksanakan dari adanya Hutan Tanaman Industri (HTR), Hutan Desa
(HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm),” begitu yang disampaikan oleh Zainury Hasym
saat di temui di kantornya.
Zain melanjutkan
bahwa dari tiga peluang tersebut peluang yang cukup besar dalam merai hak
pengelolaan adalah hutan desa, dan ini juga diperlukan beberapa syarat yaitu,
lahan yang diperlukan hak pengelolaan tersebut harus merupakan hutan desa, dan hutan desa tersebut
tidak dalam pengelolaan semi dari pihak lain yang artinya dia bebas dari ijin
apapun, serta yang terakir wilayah hutan desa ini ada pihak masyarkaat yang
mengelola.
“Untuk Provins Riau
peluangnya cukup banyak, namun ancamanyna juga tak kalah banyak dari Enspasi
perkebunan sawit, perkebuanan akasia,perkebunan HTI, yang merupakan industry yang rakus lahan dan
kayu. Dimana mereka menjkadi pesaing utama terhadap hutan desa tersebut,”
ujarnya lagi
Masih dalam
penjelasan Zein bahwa Telapak BT Riau saat ini sedang mengupayakan dua desa
bersama yayasan mitra insani (YMI) dengan jikalahari. Ada lahan seluas 14 ribu ha yang ada di
kabupaten pelalawan yang sedang kita usulkan menajadi hutan desa, proses yang
terjadi pada tahap awal menjelang tahap final yaitu proses sertifikasi.
Sekarang ini tinggal proses tanda tangan Kemenhut.
“Kami meyankjini
keterlibatan masyarakat tgerhadap pengelolaan hutan dapat menyejahterakan
masyarakat itu sendiri, dan saat ini Telapak BT Riau sat ini melakukan pemetaan
terhadap potensi hutan desa di semenanjung desa. Dua desa lainnya sedang dalam
proses. Saat ini kami masih
mengusahakannya kepada Desa serapung dan Desa Pulau Muda ,” ujar Zein
Harapan saya
kedepanya bahwa pemerintah harus segera menggolkan Undang-Undang mengenai
adanya status dari hutan desa tersebut dan memberikan ijin kelola terhadap
masyarakat.
Hutan Adat
Keberadaan hutan adat
di Indonesia menemukan kedala dalam aspek legal formal regulation yang ada
Sejauh ini perundang-undangan yang mengatur mengenai
kehutanan dari kemnhut mengakui adanya hutan adat, tetapi tidakada aturan
teknis terkait hutan adat yng dioperasinalkan oleh masyarakat adat, sesuai
dengan fungsinya masing-masing.
Oleh karena itu
menurut saya pilihannya hanya Cuma apakah kita akan tetap berjuang dengan
kepastian hutan adat itu ada
Yang kedua
memanfaatkan regulensi lain untuk mendapatkan hak kelola lebih dahulu kepada
masyarakat kemudian pada saatnya nanti tertbitnya undang-undang teknis yang
mengatur hutan ada terbit itu baru bisa di kombain nantinya.
Saya menyarankan ada
dua hal yang harus dilakukan secara bersamaan
1 .mengupayakan
penerbitan undang-undang mengenai hutan adat
2. sumber daya hhutan
yang tersisa yang belum ada izin operasi di hutan adat tersebut harus ada tetap
dilakukan sebagia hutan desa
Sehingga adanay
peraturan ini bisa disatukn
satu hal yang menadi
kehawatiran saya adalah bila terjadi
proses advokasi hutan adat berjalan, dan ini berhasil, sumber daya hutannya
sudah teralokasikan oleh konsesi perusahaan maka pada saat itu persoalannya
tetap berat.
Tidak semua pimpinan
daerah kabupaten provinsi cukup ower
dengan keberadaan hutan adat masyarkaat.
Seperti yang dikampar
tersebut yang di upayakan di indra giri potensi yang lain bisa di akui oleh
kabupaten
Telapak saat ini
di mengupayakan melaksanakan community
loging melalui jalur hutan desa ini kita pilih atas pertimbangan bahwa di
lokasi semenanjung Kampar riau merupakan potensi yang sangat potensial sekali
untuk menjadi kawasan konsesi hti maupun kawasan konsesi yang lainnya dari
perusahaan
Sehingga tahap
pertama BT telapak riau mau mengamankan lokasi itu melalui hak kelola
masyarakat melaui perundang-undangan dari mentri sehgingga ada permenhut
tentang peraturan tentang huta desa. Dan itu yang kita pakai
Pesan saya Cuma
lakukan upaya advokasi kebijakan atas devisiasi masyarakat adat tetapi dengan
seiring itu berikan hak kelola kepada masyarakat
Harapan saya bahwa
pemerintah dapat mengakui ada nya peraturan yang berbicara mengenai adanya huta
adat ini.
Epriyanto Ketua Badan Pelaksana AMAN saat ditemui di
yayasan mitra insani (YMI), ia mengatakan bahwa saat ini kami
mengupayakan hutan adat dapat dikelola oleh masyarakat adat sendiri, karena ini
hutan adat merupakan hak masyarakat adat mengelolanya.
“Dengan adanya hutan adat setidaknya
masyarakat sendiri yang dapat manfaatnya, jika hutan adat yang mengelola adalah
perusahaan, masyarakat tidak akan mendapatkan apa-apa. Saat ini kita mencoba
melakukan sosialisasi terkait adanya nota kesepakatan dari badan pertanahan
nasional RI. Dan kita akan mencoba mengupayakan kepada masyarakat agar tau
mengenai hal ini dan mencoba meminta aplikasi nyata dari pemerintah daerah
terkait adanya nota kesepakatan ini,” ujarnya
Komentar
Posting Komentar