Langsung ke konten utama

Ekonomi Hijau Telah Lama Diterapkan Masyarakat Adat Tempatan

Konsep ekonomi hijau yang merupakan perpanjangan dari pembangunan berkelanjutan, telah disepakati pada tahun 1992 dalam Konferensi Internasional tentang Pembangunan Berkelanjutan dalam merespon dua puluh tahun KTT Bumi di Rio. Dan diterima luas sebagai model pembangunan internasional dan nasional, bahkan semenjak disepakati konsep ini menjadi sebuah perekat yang dapat merekatkan beberapa kepentingan. Baik dari kepentingan pemerintah yang maju maupun yang sedang berkembang, para aktivis lingkungan hingga ke partai politik.


Ekonomi Hijau merupakan sebuah sistim untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kesetaraan sosial, sekaligus mengurangi risiko lingkungan secara signifikan. Ekonomi Hijau juga berarti perekonomian yang rendah atau tidak menghasilkan emisi karbon dioksida dan polusi lingkungan, hemat sumber daya alam dan berkeadilan sosial.

Sebenarnya ekonomi hijau telah lama diterapkan oleh masyarakat adat yang tersebar di Indonesia, hanya saja penyebutannya lebih sedikit ‘digagahkan’.

Masyarakat yang berada dipinggiran kota sampai saat ini masih membudayakan turun berladang dimana mereka masih menerapkan sistim berladang secara tradisional. Konsep berladang secara tradisionallah yang menjadi konsep ekonomi hijau ala masyarakat adat, dimana konsep berladang ini tak jauh berbeda dengan konsep ekonomi hijau yang saat ini sedang gencar-gencarnya digalakan oleh pemerintah.




Salah satu konsep tersebut dibangun oleh suku Talang Mamak yang ada di Dusun Datai di Kawasan Keritang, pedalaman Taman Nasional Bukit Tigapuluh  Provinsi Riau. Suku Talang Mamak ini turun temurun hidup didalam kawasan hutan, sejak zaman para leluhurnya.

Pemerataan distribusi kesejahteraan dan Keadilan Ekonomi telah lama mereka bangun, sejak perkampungan mereka dirikan tetua adatlah yang mengatur semuanya. Sehingga di Suku ini tidak ada ketertimpangan ataupun berbedaan yang mendasar, tidak ada yang namanya kaya ataupun miskin semmuanya sama saja. Dan merekapun mendapatkan pencapaian keadilan social dan ekonomi yang merata, bahkan mereka hidup berdamai dengan alam.

Dengan adanya tetua adat, aturan-aturan yang telah disepakati oleh seluruh masyarakat tidak ada yang berani melanggarnya. Sebab mereka masih percaya terhadap aturan leluhurnya bahwa siapa yang menentang akan mendapatkan malapetaka hingga seluruh keturunannya.

Ekuintas antargenerasipun telah lama mereka capai, hingga saat ini. Dengan menerapkan konsep berladang secara berpindah-pindah, masyarakat talang mamak mampu meningkatkan asset lingkungan untuk anak cucu mereka mendatang. Berladang secara berpindah inilah yang akirnya Suku Talang Mamak mendapatkan predikat di Provinsi Riau sebagai suku terasing yang berada di pedalaman kawasan hutan.

Suku Talang Mamak juga menurunkan ilmu bercocok tanam kepada seluruh keturunannya baik kepada laki-laki maupun kepada perempuan, mereka percaya bahwa tuhan menganugrahkan kepada mereka hutan sebagai pemenuhan hidup yang harus mereka jaga, belajar dan berkembang bersama alam tetap mereka pelihara hingga saat ini.

Mereka juga tahu, kapan saatnya mereka menanam padi, palawija dan kapan mereka melakukan perladangan berpindah serta kapan mereka memanfaatkan hasil hutan sebagai mencukupi keperluan hidup mereka.

Contoh dari ilmu pengetahuan mereka berladang adalah saat bulan penghujan, masyarakat talang mamak lebih memilih menanam padi dari pada bertanam palawija. Selama mereka bertanam padi mereka juga memanfaatkan hutan sebagai tambahan ekonomi, dengan mencari rotan, dan damar. Tanpa menggunakan pupuk kimia dan pestisida mereka mampu meningkatkan hasil pertaniannya, dan menyejahterakan sukunya.

Dan mereka juga menyisakan beberapa hektar hutan untuk tidak dipergunakan, dan mengkeramatkannya dengan istilah hutan adat larangan. Mereka percaya siapapun yang masuk dalam hutan adat larangan tersebut dan mengambil hasilnya niscaya mereka yang masuk tidak akan pernah pulang dengan selamat.

Sayangnya beberapa suku talang mamak yang berada dibeberapa desa di Kabupten Indragiri Hulu saat ini, keadaannya malah memprihatinkan. Mereka kehilangan tanah, hutan adat akibat masuknya izin-izin perusahaan perkebunan.

Dari tahun-ketahun hutan adat Talang Mamak kian berkurang, masuknya izin-izin konsesi perkebunan membuat masyarakat semakin kehilangan hak atas hutan mereka. Tahun 2002, masyarakat adat Talang Mamak mendapatkan Kalpataru dari Presiden Megawati kepada Gubernur Riau. Penghargaan tersebut diberikan sebagai penghargaan atas jasa dan kerja keras suku Talang Mamak dalam melestarikan hutan adatnya dengan luas 18.800 Ha. 

Namun sekitar tahun 2006, Kalpataru tersebut dikembalikan oleh masyarakat karena kesepakatan yang telah dibuat dilanggar oleh pemerintah setempat dengan memberikan izin kepada perusahaan perkebunan. Padahal antara masyarakat dan bupati telah melakukan kesepakatan yang dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB).

Gilung (45) masyarakat Talang Mamak dari Dusun Durian Cacar berujar bahwa saat ini masyarakat adat Talang Mamak tak lagi memiliki hutan adat. “Dari tahun ke tahun luas hutan adat menjadi berkurang, saat ini kami tak lagi ada hutan. Adapun hutan hanya sejengkal, kiri kanan depan belakang desa kami sudah jadi konsesi perkebunan kelapa sawit milik perusahaan.”

Airnya mukanya terlihat begitu tegang saat menceritakan suku mereka tak lagi memiliki hutan, mereka takut melakukan perladangan secara berpindah. Hal ini disebabkan mereka takut beberapa izin yang ada dikawasan mereka kembali dicaplok karena disangka tanah yang tiada bertuan.

Karena persoalan perizinan inilah, ekonomi hijau yang dibangun oleh masyarakat adat talang mamak menjadi stagnan. Mereka mencoba bertahan dengan tidak melakukan perladangan yang berpindah lagi, mereka hanya menetap disatu lokasi. Dengan berharap kepada beberapa puluh batang karet untuk melanjutkan kehidupan mereka. 

Disinilah perbedaan ekonomi hijau yang sedang digalakan oleh pemerintah, dengan ekonomi hijau yang dimiliki oleh masyarakat adat. Yakni dalam hak tas tanah.

Menurut Siti Maimunah  dari Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim yang dikutip dari kompas.com menyatakan bahwa harus ada empat syarat yang harus diterapkan dalam ekonomi hijau yakni yakni keamanan manusia, memperhitungkan utang ekologi, hak atas tanah, serta pola produksi dan konsumsi

Mubariq Ahmad yang tergabung dalam Kelompok Kerja Strategi Nasional REDD+ juga menyatakan hal yang sama dengan Siti Maimunah, bahwa untuk mencapai ekonomi hijau perlua adanya entry point yang strategis dan adanya dukungan penataan land governance antara lain tata guna lahan, tata batas hutan, moratorium, dan perbaikan sistem perizinan pemanfaatan lahan

Disinilah  permasalahan terbesar yang sering terjadi bagi masyarakat adat, perubahan tata guna lahan yang drastis akibat pemberian konsesi kehutanan, perkebunan, pertambangan untuk perusahaan raksasa. Kebijakan sektoral seharusnya memberikan kesempatan bagi kearifan adat untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, sebagaimana yang telah diperaktekan selama ratusan atau bahkan ribuan tahun.

Peran pemerintahlah yang cukup besar dalam menentukan keberhasilan ekonomi hijau ala masyarakat adat. Pemeberian hak, pengelolaan atas tanah dikembalikan kepada masyarakat adat sehingga pembangunan berkelanjutan dapat segera terwujud.

Komentar

  1. Saya Setuju, Semoga Pemerintah benar2 menepati janjinya dalam mewujudkan prinsip Ekonomi Hijau yang sebenarnya sudah kita miliki sejak dulu kala.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ramin-Ramin Itu Telanjang Berdiri

Catatan Perjalanan April 2012 Ramin-ramin itu telanjang berdiri. Ramin ini berada di kawasan konsesi HTI PT. SRL Ini adalah perjalanan saya dengan teman-teman jurnalis Pekanbaru bersama Eye on the Forest (EoF) menelusuri Ramin di Pulau Rupat. EoF ini merupakan lembaga koalisi LSM Lingkungan di Riau, Sumatera: WALHI Riau, Jikalahari (Jaringan Penyelamat Hutan Riau) dan WWF-Indonesia Program Riau. Ya perjalanan kami menuju Pulau Rupat untuk melihat secara langsung keberadaan pohon Ramin yang katanya hampir mengalami ‘kepunahan.’

Expedisi Merah, Sungai Serkap (1)

“Saya belum pernah melihat bagai mana bentuk dari ikan merah itu sendiri, hanya hanya mendengar berita dari mulut-kemulut mengenai ikan merah ini. Ditambah lagi katanya ikan ini hanya ditemukan diwilayah tasik ini.” Begitu yang disampaikan oleh K epala dinas (Kadis) Perikanan dan Kelautan Propinsi Riau Irwan Effendi   sesampainya didepan rumah kepala desa Teluk Binjai kepada Gurindam12 (G12) Cerita expedisi ini bermula pada Senin (31/11) siang, Tim Expedisi Merah berangkat menuju Tasik Besar  yang berada dis ungai Serkap Semenanjung Kampar Kab upaten Pelalawan , guna menemukan ikan endemik diwilayah tersebut yang belum diketahui jenis dan namanya untuk dilakukan identifikasi.

Hutan Disepanjang Gunung Jadi, Merupakan Sumber Vital Bagi Masyarakat

  Expedisi Gunung Djadi. Kabupaten Kampar-Riau Gemuruh air sungai yang mengalir deras disepanjang jalan menuju Desa Sungai Santi seolah-olah   menyambut kedatangan Tim Ekspedisi 12|12 (Ekspedisi di 2012 bersama dengan Gurindam12) yang dilaksanakan pada 29 desember 2011 sampai dengan 3 Januari 2012 waktu yang lalu. Secara administrasi Desa Sungai Santi berada di Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar. Suasananya yang begitu alami membuat kami selalu takjub memandang aliran sungai santi yang bersih dan alami, belum lagi dengan pemandangan yang elok membuat kaki kami yang sedari tadi berjalan tak pernah merasa penat. Beberapa ibu-ibu yang kami temui di sepanjang aliran sungai santi tengah sibuk melakukan aktifitas mereka masing-masing, mulai dari mencuci, mandi tengah asik bercengkrama dengan menggunkan logat khas asli penduduk kampar kiri hulu, saat kami mencoba melintasi kawasan aliran sungai tersebut untuk melaksanakan pendakian ke Gunung Jadi.