foto via @panen2015 |
Talkshow hutan bukan hanya kayu merupakan diskusi
yang memberikan pemahaman tentang peran hutan dan keragaman hayatinya, yang
seharusnya tidak hanya dilihat dari kayu saja tetapi apa yang dihasilkan dari hutan
tersebut.
Dalam talkshow ini mendatangkan pembicara dari Kepala
Badan Litbang Kehutanan Bambang, Deputi II Bidang Produksi Kementrian Koperasi Dan
UKM, I Wayan Dipta. Komunitas Rimba Lestari Nuri, Komunitas Sungai Tohor
Kepulauan Riau Zamhur, serta Rudi Syaf dari Kampung Bontae Kalimantan timur.
Dalam talkshow tersebut Kepala Badan Litbang
Kehutanan Bambang mengatakan bahwa “pola pikir pemerintahan yang terjadi saat
ini, sudah banyak terjadinya perubahan yang pesat dimana dulu kita memiliki
pola bis manajemen sekarang sudah mengacu kepada resource manajemen dimana ada perubahan dimana dulu kita hanya
mengambil sekarang kita melakukan manajemen hutan dan bagaimana mengelolanya
dengan baik,”
“ Dalam hal ini telah diatur dalam Permenhut kehutanan,
dimana ada 559 jenis hasil olahan non kayu yang telah kita identifikasi berguna
untuk menunjang kehidupan masyarakat disekitar kawasan hutan. Yang utama yang
kita kelola dan promosikan adalah madu hutan, bamboo, benang sutra. Untuk tanaman
hutan yang paling berpotensi untuk dijadikan energy adalah tanaman nyamrong,”
“Dari 559 jenis produk bukan kayu sudah dimanfaatkan
keseluruhannya untuk masyarakat. Lima yang saya sebutkan tadi adalah sebagai
produk unggulan dan pemanfaatannya bersama-sama. Saat ini kemenyan di Provinsi Papua
sudah punah, dan saat ini kita sedang mengembangkan bibiti pohon kemenyan untuk
dikembangkan oleh masyarakat,” ujar Bambang Kembali.
Sementara itu, Deputi II Bidang Produksi Kementrian
Koperasi Dan UKM, I Wayan Dipta juga mengomentari mengenai produk hutan bukan
kayu yang telah dikembangkan oleh Kemetrian UKM. Dimana sejak tahun 2000 Kementrian
UKM sudah memberdayaakn masyarakat disekitar hutan untuk mengelola dan
menjadikannya sebagai produk yang harus mereka kelola sendiri.
“Salah satu produk dampingan dari UKM adalah Madu
Gaharu yang telah kita bina. Kunyit jahe bahkan sudah kita eksport keluar
negeri dan diminati oleh masyarakat disana. Kunyit merupakan produk perdana
yang kita kirim ke Amerika, dimana kunyit yang kita ekspor merupakan produk sekitar
kawasan hutan Garut,” Ujar Wayan
Masih dalam paparan Wayan, kami mendorong masyarakat
disekitar kawasan hutan untuk berkoperasi agar nantinya mereka menjadi tangguh.
Sebenarnya kendala dari masyarakat bukanlah kendala modal tetapi terkendala
oleh bagaimana pemasarannya. Dan untuk mendorong agar permasalahan tersebut
tidak berlanjut, kita memberikan hak cipta produk secara gratis
Produksi
Terkendala Oleh Perubahan Fungsi Hutan
“Masyarakat petani yang memproduksi hasil hutan
bukan kayu adalah produsen, sebagai produsen mereka membutuhkan keamanan untuk
dia mengelola produksi nya. Tetapi saat ini banyaknya izin yang dikeluarkan
oleh pemerintah untuk mengelola hutan menjadi kawasan konsensi HTI, HPH membuat
masyarakat disekitar hutan kurang berproduksi.,” ujar Ecosistim Alliance (EA) Rudi.
“Saat ini produk yang dihasilkan oleh masyarakat
disekitar kawasan hutan menjadi tidak ekonomis, dimana saat ini masuknya
ekspansi sawit telah mengubah pola konsumsi masyarakat serta pola pikir mereka.
Dapat kita lihat dari permasalahan hilangnya Jernang, dimana kita ketahui bahwa
jernang rotan hidupnya berada di bawah pohon. Berkurangnya hutan akibat alih
funsi lahan mengakibatkan hilangnya bibit-bibit jernang. Hal ini yang sangat kita sayangkan sekali,”
ujar Rudi.
Dari data yang dimiliki oleh EA dari tahun 1990 - 2000
kawasan hutan berkurang sebanyak 50 %. Dan pada tahun 2000 – hingga 2013
terjadi kekurangan kawasan hutan sebanyak 20 % dimana total dari keseluruhan
berkurangnya kawasan hutan sebesar 70 % untuk hutan Sumatera.
Dan ini merupakan tantangan untuk teman-teman NGO
agar terus menadmpingi masyarakat supaya masyarakat dapat mempertahankan
kawasan hutannya agar tidak berkurang.
Sementara itu, Jamil Bantae warga desa lampao Sulawesi
selatan mengeluhkan hal yang sama, dimana kawasan hutan di areal hutan desa mereka
juga terjadi pengalihan fungsi kawasan. Namun saat ini masyarakat telah
mendapatkan haknya dalam mengelola hutan Negara dalam bentuk hutan desa. Sebesar
420 Ha hutan desa yang dikelola telah menghasilkan produk-produk non kayu berupa
Madu, Rotan, tikar pandan dll.
“Kami berharap adanya peningkatan mutu yang kami
hasilkan, terkait kualitas dari kami memang masih sangat kurang. Permsalahan utama
yang saat ini kami hadapi adalah para tengkulak yang mengambil hasil dari kami
dengan harga yang sangat murah sekali.”
Di tempat yang sama, Zamhur masyarakat dari Tebing
Tinggi Kepulauan Meranti menyatakan bahwa kami melestarikan hutan dengan
menanam sagu. Kami memelihara hutan agar tetap terpelihara. Ada tanaman
buah-buahan salah satunya buah asam yang kami olah menjadi manisan. Di Meranti kami tidak memerlukan alatalat dari
pemerintah karena kami hanya perlu parang dan kapak, namun saat ini kami sangat
kesulitan untuk menumbuhkan anak sagu karena tempat menaman sagu selalu
mengalami kekeringan. Hal ini dikarenakan bahwa adanya kebijakan pemerintah
yang memberikan izin kepada perusahaan sehingga membuka kanal sehingga air
berkurang di kawasan kami.
“Di Meranti kawasan kami tersebut tergolong unik, karena lahan kami berupa lahan gambut. Dimana
gambut memerlukan air yang cukup banyak agar lahan gambut yang terbentuk dari
serahan bahan organic seperti akar-akar dan daun daunan tersebut tidak menjadi kering dan terbakar.”
Rawa gambut sangat sensitive, dimana ketika membuka
lahan secara kanalisasi sangat banyak sekali sehingga gambutnya menjadi rusak. Sagu
sangat ramah lingkungan untuk menjaga ekosistim rawa gambut.
Komentar
Posting Komentar