Langsung ke konten utama

Bukan Sekedar Wanita Tua

Aku kangen sekali dengan mereka 

“Pletak pletak pletak,” begitu bunyi ulenan sambal yang kugiling menggunakan ulenan batu alam. Sesekali ku jawab ya disetiap akir pembicaraannya. Umurnya yang sudah memasuki kepala empat tak menggerus semangat mudanya, jika rambutnya yang mulai mulai putih tersebut di cat berwarna gelap tentu akan menyulapnya seperti gadis yang berumur tiga puluh tahunan.

“Dona, Rachman itu waktu kecil doyan banget sama susu. Waktu TK aja dia masih nentengin susu dotnya kemana-mana, ndak mau lepas itu dotnya. Kecuali kalo susunya sudah habis baru dilepeh,” ujarnya
Yah begitulah percakapan kami didapur saat menyiapkan menu berbuka puasa semalam. Selain ceritanya yang membuatku tersenyum, keramahan dan kelembutannya begitu ku terasa dalam dua tahun ini.  Senang rasanya aku mendapatkan keluarga yang begitu hangat dan baik sekali kepadaku padahal perkenalanku dengan mas Rachman, anak sulungnya juga dalam hitungan dua tahun.


Yah kami menikah atas kesepakatan, kesepakatan sama-sama ingin ta’ruf. Banyak yang menertawakn keputusanku ini, tapi bukan mengenai ta’rufku yang ingin ku ceritakan disini. Tetapi ingin menuliskan sosok IBU yang selalu mengisi hidupku dan bahkan kenangan-kenangan mereka masih teringat hingga saat ini.

***

“Na, sudah sarapan pagi? Ibu baru aja masak sayur genjer. Ayo kemari sarapan pagi dulu,” suaru bu Idin yang memecah lamunanku pagi ini ketika mengobok-obok kolam ikannya di pematang sawah bersama fitrianty siregar. lamunan kami pagi-pagi itupun harus terhenti karena teriakannya, raut wajahnya yang kiat keriput tak tega harus mengulang kembali himbauannya. Dan kamipun mendekat.

Kami berdua saling bergumam, “Pit dipanggil makan pagi pit,” ujarku kepada fitri. Dan fitripun membalas gumaman kecilku, “ndak papa don. Makan gratis ini” ujarnya. Tanpa basa-basi yang non membabi buta itupun kami mulai melahap hidangan yang diberikan oleh bu Idin. Genjer merupakan hidangan yang pertama kali aku makan, mungkin begitu juga dengan ipit.

Bu Idin adalah orang yang pertama kali mengangkatku sebagai seorang anak, mungkin begitu juga dengan ipit. Dia bekerja untuk mengurusi beberapa hektar sawah milik pak Iin, yang tak lain guru sekaligus pembimbing lapangan kami sewaktu mengikuti mata pelajaran Praktik Kerja Nyata (magang) dari sekolah kami (Sekolah Pertanian Pembangunan (SPP) Provinsi Riau) --- namannya sekarang telah menjadi SMK Pertanian.

Ah kebaikan bu Idini tidak dapat kutuliskan satu persatu disini, akan terlalu penuh untuk aku uraikan. Yah dialah sosok ibu yang selalu bertanya kepada kami “sudah sarapan pagikah kah?” ah betapa rindunya aku kepada beliau. Sayang kenanganku tidak memiliki bekas nyata baik berupa foto bersama atau benda darinyapun tak kumiliki. Hanya kenangan yang berbekas dihati yang kumiliki, wajahnya yang tak lagi muda selalu terkenang, hanya satu pertanyaanku “masih hidupkah beliau?”

***

Ah seandainya aku tahu nama ibuku yang satu ini, mungkin akan secara gamblang kutuliskan namanya di catatanku. Yang ku tahu hingga saat ini, namanya Bu De.

Mengapa Bu De? Yah kami selalu memanggilnya Bu De. Sebab ia merupakan istri dari Kepala Desa Rambahan Kecamatan Rambahan Kabupaten Kuantan Singingi, yang teramat ramah terhadapku beserta teman-teman dari tim KKN sesama Universitas ku dulu. Ia selalau bertanya, baik secara langsung kepadaku maupun teman satu posko dengan ku. Setiap hari selalu bertanya bagaimana dengan keadaan kami diposko ini, bahkan bertanya masih cukupkah bekal makan kami selama satu bulan. Ah ibu ini, dimataku ia selalu bersahaja. Berbeda dengan bu de dari posko tetangga sebelah yang tidak pernah bertandang ke posko anak-anak KKN, begitu cerita yang kudengar dari teman tetangga sebelah jika bercerita mengenai Bu De ini.

Sore itu, hujan turun dengan lebatnya. Hati penduduk desa mana yang gembira akan turunnya hujan sore ini, semua penduduk desa dengan super cepat mengeluarkan ember-ember mereka untuk menampung hujan sebagai air bersih untuk dikonsumsi. Wajar karena sudah tiga bulan desa ini tidak pernah turun hujan, untuk keperluan air bersih mereka harus menimba dan mengangkut kerumah mereka dengan jarak tempuh yang cukup lumayan jauh. Untuk keperluan mandi, cuci dan kakus mereka mengandalkan aliran anak sungai kuantan yang airnya berwarna coklat.

Selama seminggu hujan merupakan berkah bagi penduduk desa rambahan, tapi rasanya tidak bagi kami anak KKN. Posko kami dari luarnya memang terlihat keren, tapi didalamnya kami harus tidur beralaskan tikar tipis yang kami bawa dari rumah. Beruntung kami duo Dona membawa matras kemping sehingga dinginnya lantai tidak kami rasakan.

Seminggu hujan mengguyur posko kami, seminggu itu pula Hasni mesti terbring lemas di posko. Usai Hasni dengan demamnya, kini disusul pula dengan Junita yang diare yang tak berhenti-henti hingga tiga hari. Beruntung duo Dona dan Indah tidak ketularan sakit, sakit yang kami derita hanya seputaran kulit gatal karena mandi dengan air sungai.

Disinilah peran Bu De yang membuatku sampai teringat tentang dirinya, ia membawa Hasni dan junita untuk berobat dengan mobil yang ia pinjam dari tetangganya untuk mengantarkan mereka padahal iapun dalam kondisi yang sakit. Belum lagi titipan-titipan bekal makanan yang ia berikan kepada kami setiap minggunya, kadang melalui orang lain setiap hari ia memberikan kami sayur-sayur yang mungkin tidak seberapa baginya tapi seberapa bagi kami.  

Bahkan ketika kepulangan kami seusai KKN, ia masih tetap menitipkan pesan agar kami selalu datang dan main untuk sekdar berkunjung di Desa ini. Ia pun tak kuat atas kepulangan kami, dan memilih beristirahat didalam kamar. Aku tau dia pasti meneteskan air mata, sebab isakan tangisnya dapat kudengar dari luar kamarnya saat hendak berpamitan pulang.

Bulan puasa ditahun itupun menjelang, satu yang kabar yang membuatku kaget dan terharu adalah saat beliau hendak mampir kedalam rumahku. Ya rumah biasa yang bangunannya hanya setengah jadi, mereka (pak de dan bu de) berbuka dirumahku yang belum jadi.

***

Dengan berlinang air mata ia menyuapiku pisang goreng yang ia masak sekitar setengah jam yang lalu karna aku tak ingin meyicipi masakannya, seraya berujar kepadaku “na maafkan anak ibu ya yang sudah menyakiti ana, atas ketidak setiaannya. Jika Ade seumur dengannya, ibu akan jodohkan ana sama Ade.”

Ah pilu rasanya jika aku harus menuliskan cerita mengenai Ibu yang satu ini yah pasti harus berurusan kembali dengan kejadian yang tidak mengenakanku akan kisah bersama anaknya. Namun ibu ini memiliki cerita yang amat berkesan di hatiku, menjadi sahabatku tatkala mendengarkan curhatanku mengenai skripsiku yang membuatku stres. Dan selalu menyemangatiku jika aku malas untuk datang kekampus biru itu, walau hanya sekedar konsultasi skripsi.

Walau umurnya sudah kepala empat puluh tahun keatas, dimataku ia hampir sebaya denganku jika membahas mengenai berita-berita hari ini. Ya walaupun tidak muda lagi ia selalu Up Date berita, kadang ia lebih melek berita terkini ketimbang aku.

Kadang aku harus meneteskan air mataku saat ia bercerita mengenai masa kecilnya dahulu yang begitu indah. Bercerita mengenai sosok seorang ayah selalu ia rindukan, begitu pula dengan ibunya yang berada di tanah jawa. Ia merupakan anak dari seorang prajurit AD, ia dibesarkan tanpa adanya aturan baku dan tumbuh menjadi anak yang pemberani. Namun kasih kasayang itu mesti terhenti saat ia menginjak kelas lima SD (kira-kira sepelantaran itu) dan hanya dibesarkan oleh ibunya dengan berbekal uang tunjangan dari kantor ayahnya.    

Jika mengingat masanya kecilnya, ia pasti akan selalu menitikan air matanya. Ya aku hanyabisa memeluknya seraya berkata “ibu yang tabah ya, jangan menangis lagi.”

Namun tangisannya kali ini begitu membuatku semakin ingin menangis lagi dengan kerasnya untuk melepaskan seluruh kesal, sakit, kecewa, down bahkan bahkan ketidak percayaanku atas kekejian anaknya.
Yaa dia menangis untukku, menangis atas ketidak mampuannya dalam mendidik anaknya untuk berlaku setia. “ibu gagal mendidiknya na, ibu gagal. Ia menyakiti ana, ibu ikut tersakiti. Maafkan ibu na, maafkan anak ibu,” itulah ucapannya kepadaku untuk terakir kali atau mungkin selamanya setelah ia menyuapiku pisang goreng siang itu dihalaman belakang rumahnya.

Ah terlalu pilu rasanya jika harus mengingat ibu ini kembali, begitu banyak kisah yang aku tuliskan dibuku diaryku. Kisah perjalanannya, pernikahannya, kisah anak-anaknya yang terangkum rapi di buku diaryku. Entah sampai kapan harus aku menyimpan kisah itu.  

***

“Brush,,,,” aku memasukan sambal kedalam wajan penggorengan dengan perlahan agar minyaknya tidak terlalu menyambur keluar dengan sesekali aku mengaduknya agar kematangannya merata, wanita yang sedari tadi bersamaku didapur tak henti-hentinya mengiatkanku agar selalu hati-hati dalam memasak agar tidak terkena cipratan minyak panas.

Ah wanita ini bukan hanya sekedar mertuaku, tapi dia adalah seorang ibu dari suamiku. Seorang ibu yang memiliki curahan kasih untuk semua anaknya, bahkan untuk ku. Aku akan memanggilnya ibuku, ah senang rasanya bila kebahagian itu didapat dari keluarga lain.

Aku beruntung memiliki ibu-ibu yang selalu memberiku rumah untuk selalu singgah, walau kadang aku mungkin tak dapat singgah untuk selamanya. Atau bahkan memutuskan tidak akan singgah, ah begitu mulia engkau para ibu. Semoga kelak kita akan bertemu dilain waktu, walau hanya sekedar menanyakan sehatkah engkau.

اَللّهُمَّ اغْفِرْلِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَارْحَمْهُمَاكَمَارَبَّيَانِيْ صَغِيْرَا.
“Alloohummaghfirlii waliwaalidayya war hamhumaa kama rabbayaanii shagiiraa”.

Tuhan berikanlah mereka kesehatan, ampunilah dosa mereka dan sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku. AMIN. 


  



   



   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pembukaan Panen Raya Nusantara Disambut Meriah Oleh Pengunjung

·          Panen Raya Nusantara Mewujudkan Keadilan Ekonomi Komunitas Berkelanjutan.   foto via @borneoclimate Pembukaan panen raya nusantara diawali dengan pemotongan pita oleh bapak Deputi II Bidang Produksi Kementrian Koperasi Dan UKM, I Wayan Dipta disambut meriah dengan tarian yang dibawakan oleh masyarakat adat suku Papua dengan kolaborasi music dari Kesepuhan Badui. Dalam sambutan pembukaannya Wayan menyatakan bahwa ia sangat senang sekali diundang dalam acara Panen Raya Nusantara (Parara). Sebab visi dan misi dari bidang Produksi Kementrian Koperasi Dan UKM dengan Parara sangat sejalan. “Saat ini Kementrian Koperasi melalui UKM memiliki program memberdayakan produk-produk local dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk-produk luar negeri yang masuk kedalam negeri. Dengan adanya panen raya nusantara ini dapat kita kembangkan dengan kuat produk-produk local yang berkualitas,” ujar Wayan

Alat Musik Tradisional Yang Tak Lekang Oleh Zaman

Dok. Gurindam12 (Sewaktu meliput acara seni dihalaman gedung Idrus Tintin-Pekanbaru) Siapa yang tak kenal dengan gendang, baik usia belia, muda, dan tua tahu dengan alat music yang satu ini. Saat ini, alat music tradisional ini mampu bersaing dengan alat musik modern, bahkan permainan gendang ini dapat di padukan dengan alat music manapun.   Di Indonesia alat musik gendang ini termasuk alat musik tradisional, cara memainkan   alat musik ini adalah memukul dengan tangan, maupun dengan menggunakan stik kayu. Gendang termasuk dalam klasifikasi alat musik perkusi, gendang ini terbuat dari kayu yang diatasnya diberi selaput (membran) yang biasanya terbuat dari kulit lembu atau dari kulit kambing. Jika gendang ini di pukul akan mengeluarkan bunyi yang nyaring, permainan gendang ini memiliki banyak fungsi dapat digunakan sebagai pengiring pencak silat, pembawa tempo atau penggagas dinamik dan sering juga gendang ini sebagia pelangkap untuk meramaikan suasana.    

Saatnya Pertanian ‘Back To Nature’

  Masyarakat dunia saaat ini semakin sadar akan bahaya yang ditimbulak oleh pemakian bahan kimia sintetis dalam pertanian, masyarakat semakin arif dalam memilih bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan. Alasan kesehatan dan kelestarian alam menjadikan pertanian organik sebagai salah satu alternatif pertanian modern. Pertanian organik mengandalkan bahan-bahan alami dan menghindari input bahan sintetik, baik berupa pupuk, herbisida, maupun pestisida sintetik. Pertanian organik adalah sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu, dengan cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agroekosistem secara alami, sehingga menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan.   Namun, petani sering mengeluhkan hasil pertanian organik yang produktivitasnya cenderung rendah dan lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Masalah ini sebenarnya terletak pada bagaimana cara mengolah pertanian organic ini supaya menajadi suks