Berikut ini suatu artikel lama yang ditulis oleh seorang blogger yang cukup disegani oleh kalangan peselancar di dunia maya. Dia adalah Anton Dwisunu Hanung Nugrahanto, yang mengais berbagai serpihan fakta sejarah yang terlupakan tentang Bung Karno semasa ditahan oleh rejim militer Soeharto, untuk kemudian dituliskan dengan gaya bahasa yang ringan, namun sangat menyentuh perasaan. Artikel ini dua tahun yang lalu, sengaja diunggah Anton di facebook-nya, tepat pada hari Senin 21 Juni 2010 pukul 00.45 wib atau 12.41 pm dengan judul "Sukarno, Bendera Pusaka dan Kematiannya".
Oleh: Anton Dwisunu Hanung Nugrahanto
Monday, June 21,
2010 at 12:41pm
Tak lama
setelah mosi tidak percaya Parlemen bentukan Nasution di tahun 1967 dan MPRS
menunjuk Suharto sebagai Presiden RI, Bung Karno menerima surat untuk segera
meninggalkan Istana dalam waktu 2 X 24 Jam.
Bung Karno
dengan wajah sedih membaca surat pengusiran itu. Ia sama sekali tidak diberi
waktu untuk menginventarisir barang-barang pribadinya.
Wajah-wajah
tentara yang diperintahkan Suharto untuk mengusir Bung Karno tidak bersahabat
lagi. "Bapak harus cepat meninggalkan Istana ini dalam waktu dua hari dari
sekarang".
Bung Karno pergi ke ruang makan dan melihat Guruh sedang membaca sesuatu di ruang itu. "Mana kakak-kakakmu?" kata Bung Karno.
Bung Karno pergi ke ruang makan dan melihat Guruh sedang membaca sesuatu di ruang itu. "Mana kakak-kakakmu?" kata Bung Karno.
Guruh
menoleh ke arah Bapaknya dan berkata , "Mereka pergi ke rumah Ibu" rumah Ibu yang dimaksud adalah rumah
Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru.
Bung Karno
berkata lagi "Mas Guruh, Bapak
sudah tidak boleh tinggal di Istana ini lagi, kamu persiapkan barang-barangmu,
jangan kamu ambil lukisan atau hal lain, itu punya negara,".
Kata Bung
Karno lalu ia pergi ke ruang depan dan mengumpulkan semua ajudan-ajudannya yang
setia. Beberapa ajudannya sudah tidak kelihatan, ia maklum, ajudan itu sudah
ditangkapi karena diduga terlibat Gestapu.
"Aku
sudah tidak boleh tinggal di Istana ini lagi, kalian jangan mengambil apapun,
Lukisan-lukisan itu, souvenir, dan macam-macam barang itu milik negara".
Semua ajudan
menangis Bung Karno mau pergi, "Kenapa bapak tidak melawan, kenapa dari
dulu bapak tidak melawan" salah satu ajudan hampir berteriak memprotes
tindakan diam Bung Karno.
"Kalian
tau apa, kalau saya melawan nanti perang saudara, perang saudara itu sulit
jikalau perang dengan Belanda kita jelas hidungnya beda dengan hidung kita,
perang dengan bangsa sendiri tidak..lebih baik saya yang robek dan hancur
daripada bangsa saya harus perang saudara".
Beberapa
orang dari dapur berlarian saat tahu Bung Karno mau pergi, mereka bilang "Pak kami tidak ada anggaran untuk masak,
tapi kami tidak enak bila bapak pergi belum makan. Biarlah kami patungan dari
uang kami untuk masak agak enak dari biasanya"
Bung Karno
tertawa "Ah, sudahlah sayur lodeh basi tiga hari itu malah enak, kalian
masak sayur lodeh saja. Aku ini perlunya apa...."
* * *
Di hari
kedua saat Bung Karno sedang membenahi baju-bajunya datang seorang perwira
suruhan Orde Baru. "Pak, bapak segera meninggalkan tempat ini"
Beberapa
tentara sudah memasuki beberapa ruangan. Dalam pikiran Bung Karno yang ia
takuti adalah bendera pusaka. Ia ke dalam ruang membungkus bendera pusaka
dengan kertas koran lalu ia masukkan bendera itu ke dalam baju yang
dikenakannya di dalam kaos oblong, Bung Karno tahu bendera pusaka tidak akan
dirawat oleh rezim ini dengan benar.
Bung Karno
lalu menoleh pada ajudannya Saelan. "Aku pergi dulu" kata Bung Karno
hanya dengan mengenakan kaus oblong putih dan celana panjang hitam.
"Bapak
tidak berpakaian dulu" Bung Karno mengibaskan tangannya, ia terburu
buru. Dan ke luar dari Istana dengan naik mobil VW kodok, ia minta diantarkan ke
rumah Ibu Fatmawati di Sriwijaya, Kebayoran.
Di rumah Fatmawati, Bung Karno hanya duduk seharian saja di pojokan halaman, matanya kosong. Ia sudah meminta agar Bendera Pusaka itu dirawat hati-hati. Bung Karno kerjanya hanya mengguntingi daun-daun yang tumbuh di halaman.
Di rumah Fatmawati, Bung Karno hanya duduk seharian saja di pojokan halaman, matanya kosong. Ia sudah meminta agar Bendera Pusaka itu dirawat hati-hati. Bung Karno kerjanya hanya mengguntingi daun-daun yang tumbuh di halaman.
Kadang-kadang
ia memegang dadanya, Ia sakit ginjal para,h namun obat-obatan yang biasanya
diberikan tidak kunjung diberikan. Hanya beberapa minggu Bung Karno di
Sriwijaya, tiba-tiba datang satu truk tentara ke rumah Sriwijaya.
* * *
Suatu saat
Bung Karno mengajak ajudannya yang bernama Nitri yang orang Bali untuk
jalan-jalan. Saat melihat duku Bung Karno bilang "Aku pengen duku.. Tri,
Sing Ngelah Pis, aku tidak punya uang"
Nitri yang
uangnya juga sedikit ngelihat dompetnya, ia cukup uang untuk beli duku. Lalu
Nitri mendatangi tukang duku dan berkata "Pak bawa dukunya ke orang yang
ada di dalam mobil"
Tukang duku
itu berjalan dan mendekat ke Bung Karno "Mau pilih mana Pak, manis-manis
nih" kata Tukang Duku dengan logat betawi.
Bung Karno
berkata "Coba kamu cari yang enak"
Tukang
Duku-nya merasa sangat akrab dengan suara itu dan dia berteriak "Lha itu kan suara
Bapak...Bapak...Bapak"
Tukang Duku
berlari ke teman-temannya pedagang "Ada Pak Karno...ada Pak Karno"
serentak banyak orang di pasar mengelilingi Bung Karno. Bung Karno tertawa, tapi
dalam hati ia takut orang ini akan jadi sasaran tentara, karena disangka mereka
akan mendukung Bung Karno. "Tri cepat jalan".....
* * *
Mendengar
Bung Karno sering ke luar rumah, maka tentara dengan cepat memerintahkan Bung
Karno diasingkan.
Di Bogor, dia
diasingkan ke Istana Batu Tulis dan dirawat oleh: Dokter Hewan .....
Lalu Rachmawati datang dan melihat ayahnya, ia menangis keras-keras saat tahu wajah ayahnya bengkak-bengkak dan sulit jalan, Rachmawati adalah puteri Bung Karno yang paling nekat. Malamnya ia memohon pada bapaknya agar pergi ke Jakarta saja dan dirawat keluarga.
Lalu Rachmawati datang dan melihat ayahnya, ia menangis keras-keras saat tahu wajah ayahnya bengkak-bengkak dan sulit jalan, Rachmawati adalah puteri Bung Karno yang paling nekat. Malamnya ia memohon pada bapaknya agar pergi ke Jakarta saja dan dirawat keluarga.
"Coba
aku tulis surat permohonan pada Presiden" kata Bung Karno dengan
mengucurkan air mata. Dia menulis surat dengan tangan bergetar, dan pagi-pagi
sekali Rachma ke Cendana, rumah Suharto.
Di Cendana
ia ditemui Bu Tien yang kaget karena ada Rachma di sana. Bu Tien memeluk Rachma
dan di saat itu Rachma bercerita tentang nasib bapaknya, hati Bu Tien rada
tersentuh dan menggenggam tangan Rachma lalu membawanya ke atas, ke ruang kerja
Pak Harto.
"Lho
Mbak Rachma ada apa?" Kata Pak Harto dengan nada santun,
Rachma-pun
menceritakan kondisi ayahnya.
Pak Harto
berpikir sejenak dan dia menuliskan memo untuk diperintahkan kepada anak
buahnya, agar lalu dia dipindahkan ke Wisma Yaso, yang sama sekali tidak
terawat. Kamar Bung Karno sudah berantakan sekali, bau dan tidak diurus. Bung
Karno tidak boleh ke luar kamar. Seringkali ia dibentak bila akan melakukan
sesuatu.
Dokter yang
diperintahkan untuk merawat, Profesor Mahar Mardjono sampai mau menangis, saat tahu
bahwa semua obat-obatan yang biasa digunakan oleh Bung Karno, dibersihkan dari
laci obat atas dasar perintah Perwira Tinggi.
Mahar hanya
bisa memberikan vitamin dan Royal Jelly, yang sesungguhnya adalah madu. Jika
sulit tidur, dia diberi valium, Sukarno tidak diberikan obat, bila terjadi
pembengkakan ginjal.
Rumor yang mengatakan Bung Karno hidup sengsara, banyak beredar di masyarakat, Beberapa orang diketahui akan nekat membebaskan Bung Karno, tapi penjagaan sangat ketat.
Rumor yang mengatakan Bung Karno hidup sengsara, banyak beredar di masyarakat, Beberapa orang diketahui akan nekat membebaskan Bung Karno, tapi penjagaan sangat ketat.
* * *
Pada awal
tahun 1970, Bung Karno datang ke rumah Fatmawati untuk menghadiri pernikahan
Rachmawati. Muka Bung Karno sudah bengkak. Ketika banyak orang tahu Bung Karno datang ke
rumah itu, orang banyak berteriak "Hidup Bung Karno ... Hidup Bung Karno ...
Hidup Bung Karno !!!"
Sukarno yang
reflek, karena ia tahu benar dengan suasana gegap gempita, tertawa dan
melambaikan tangan, Tapi, dengan kasar tentara menurunkan tangan Sukarno, dan
menggiringnya ke dalam. Bung Karno paham, dia adalah tahanan politik.
* * *
Masuk ke
bulan Februari, penyakit Bung Karno parah sekali, Ia tidak kuat berdiri, Tidur
saja, Tidak boleh ada orang yang bisa masuk.
Ia sering
berteriak kesakitan, biasanya penderita penyakit ginjal memang akan diikuti
kondisi psikis yang kacau. Ia berteriak "sakit ... sakit ya Allah .."
Tapi tentara
terpaksa diam saja, karena disuruh komandan, Sampai ada salah satu tentara yang
sampai menangis, mendengar teriakan Bung Karno di dalam kamar, sambil tangannya
memegang senjata.
Kepentingan
politik tak mungkin bisa membendung rasa kemanusiaan, dan air mata adalah bahasa paling jelas dari
rasa kemanusiaan itu. Hatta yang dilapori kondisi Bung Karno menulis surat pada
Suharto, dan mengecam cara merawat Sukarno.
Di rumah
Hatta duduk di beranda, ia menangis
diam-diam mengenang sahabatnya itu.
Lalu dia
bicara pada isterinya Rachmi, untuk bertemu dengan Bung Karno. "Kakak
tidak mungkin bisa ke sana, Bung Karno sudah jadi tahanan politik"
Hatta
menoleh pada isterinya "Sukarno adalah orang terpenting dalam pikiranku,
dia sahabatku, Kami pernah dibesarkan
dalam suasana yang sama, agar negeri ini merdeka. Bila memang ada perbedaan di antara
kita, itu lumrah, tapi aku tak tahan mendengar berita Sukarno terlalu sakit
seperti ini".
Hatta
menulis surat dengan nada tegas kepada Suharto, untuk bertemu Sukarno, Ajaibnya
surat Hatta langsung disetujui, ia boleh
menjenguk Sukarno.
Hatta datang sendirian ke kamar Bung Karno yang sudah hampir tidak sadar, Tubuhnya tidak kuat menahan sakit ginjal. Bung Karno membuka matanya. Hatta terdiam dan berkata pelan "Bagaimana kabarmu, No" kata Hatta, Ia tercekat, mata Hatta sudah basah.
Hatta datang sendirian ke kamar Bung Karno yang sudah hampir tidak sadar, Tubuhnya tidak kuat menahan sakit ginjal. Bung Karno membuka matanya. Hatta terdiam dan berkata pelan "Bagaimana kabarmu, No" kata Hatta, Ia tercekat, mata Hatta sudah basah.
Bung Karno
berkata pelan dan tangannya berusaha meraih lengan Hatta "Hoe gaat het met Jou" kata Bung
Karno dalam bahasa Belanda -Bagaimana
pula kabarmu, Hatta- .
Hatta
memegang lembut tangan Bung Karno dan mendekatkan wajahnya, Air mata Hatta mengenai wajah Bung Karno, dan Bung Karno menangis seperti anak kecil.
Dua
proklamator bangsa ini menangis, di sebuah kamar yang bau dan rusak, Kamar yang menjadi saksi ada dua orang yang
memerdekakan bangsa ini, di akhir
hidupnya merasa tidak bahagia, Suatu hubungan yang menyesakkan dada.
Tak lama setelah Hatta pulang, Bung Karno meninggal. Sama saat Proklamasi 1945, Bung Karno menunggui Hatta di kamar, untuk segera membacai Proklamasi, Saat kematiannya, Bung Karno juga menunggu Hatta dulu, baru ia berangkat menemui Tuhan.
Tak lama setelah Hatta pulang, Bung Karno meninggal. Sama saat Proklamasi 1945, Bung Karno menunggui Hatta di kamar, untuk segera membacai Proklamasi, Saat kematiannya, Bung Karno juga menunggu Hatta dulu, baru ia berangkat menemui Tuhan.
* * *
Mendengar
kematian Bung Karno rakyat berjejer-jejer di jalan. Rakyat Indonesia dalam kondisi bingung. Banyak
rumah yang orang-orangnya menangis karena Bung Karno meninggal.
Tapi tentara
memerintahkan agar jangan ada rakyat yang
hadir di pemakaman Bung Karno. Bung Karno ingin dikesankan sebagai pribadi yang
senyap. Tapi, sejarah akan kenangan
tidak bisa dibohongi. Rakyat tetap saja melawan untuk hadir.
Hampir 5
kilometer orang antre untuk melihat wajah Bung Karno, Di pinggir jalan Gatot
Subroto, banyak orang berteriak menangis. Di Jawa Timur tentara yang melarang
rakyat melihat jenasah Bung Karno, menolak dengan hanya duduk-duduk di pinggir
jalan, Mereka diusiri, tapi datang lagi. Begitu cintanya rakyat Indonesia pada
Bapaknya. Tahu sikap rakyat seperti itu, akhirnya tentara menyerah.
Jutaan orang
Indonesia berhamburan di jalan-jalan pada 21 Juni 1970. Hampir semua orang
Indonesia yang rajin menulis catatan hariannya, pasti mencatat tanggal itu
sebagai tanggal meninggalnya Bung Karno dengan rasa sedih,
Koran-koran
yang isinya hanya menjelek-jelekkan Bung Karno, sontak tulisannya memuja Bung
Karno.
Bung Karno yang sewaktu sakit dirawat oleh dokter hewan, tidak diperlakukan secara manusiawi, Meninggalnya, dengan cara yang agung. Jutaan rakyat berjejer di pinggir jalan, Mereka datang karena cinta, bukan paksaan.
Bung Karno yang sewaktu sakit dirawat oleh dokter hewan, tidak diperlakukan secara manusiawi, Meninggalnya, dengan cara yang agung. Jutaan rakyat berjejer di pinggir jalan, Mereka datang karena cinta, bukan paksaan.
Dan sejarah
menjadi saksi bagaimana sebuah bangsa memperlakukan orang yang kalah. Walau pun
orang yang kalah, adalah orang yang memerdekakan bangsanya, Orang yang menjadi
alasan terbesar, kenapa Indonesia harus berdiri. Tapi diperlakukan layaknya
binatang, Semoga. kita tidak mengulangi kesalahan seperti itu. .......
21 Juni - Tanggal meninggalnya Bung Karno.
21 Juni - Tanggal meninggalnya Bung Karno.
sumber: aktual.co
Komentar
Posting Komentar