Rabu (20/09) Merupakan kunjungan kami yang pertama ke Tasik Betung Desa Seminai Kuning, Kecamatan Mandau Kabupaten Siak. Tasik Betung yang digadang-gadangkan dengan Cagar biosfernya membuat kami sangat tertarik untuk berkurnjung ke sana, cagar biosfer Giam Siak kecil-Bukit batu, merupakan cagar biosfer ke tujuh di Indonesia dikukuhkan pada medio 200
Keberangkatan kami diwali pada pukul 12,00 WIB, dari kantor Yayasan Mitra Insani (YMI). Tim Gurindam12 (G12) yang terdiri dari Zainury Hasyim,Hisam Setiawan, dan Dona Rahayu. Selama perjalanan kami disuguhi pemandangan yang kadang membuat kami jenuh dan bosan karena siguhi oleh hamparan ladang sawit dengan tanahnya yang berwarna kuning. Sama sekali tidak ada pemandangan yang menarik hati kami, aku lebih memilih tidur dibandingkan dengan kedua temanku yang asyik dengan perbincangan mereka.
Beberapa bulan lalu aku membaca artikel mengenai beberapa cerita tentang Tasik Betung ini dan rencana dari terbentuknya cagar bosfer ini, salah satu diantaranya adalah memfungsikan kawasan tasik ini sebagai bank keanekaragaman hayati, pencadangan air, upaya mitigasi terhadap perubahan iklim dan terpenting peningkatan pendapatan bagi warga sekitar, privat sektor, pemerintah daerah dan negara.
Pengelolaan cagar biosfer ini didukung United Nations Educational, Scientific and Cultural organization; The Indonesian Man and Biosphere (MAB) Program national Commitee, LIPI, Departemen Kehutanan, Pemerintah Propinsi Riau.Pada 2009 dikukuhkan sebagai Cagar Biosfer ke-7 Indonesia setelah terjadi penggabungan seluas 178.722 hektar dengan penyerahan blok hutan kelompok usaha kehutanan Sinarmas Forestry seluas 72.555. Dan diberi nama Cagar biosfer GSK-BB dengan luas zona inti seluas 178.722 hektar, zona penyangga seluas 222.425 dan zona transisi seluas 304.123 hektar. Ketiga zona ini memiliki sungai dan tasik, merupakan kawasan perikanan rawa gambut yang dikelola secara tradisional dari berbagai desa di dalamnya.
Aku tersentak dari lamunanku, ternyata mobil yang kami tumpangi sudah memasuki areal perkantor PT Arara Abadi (AA), ketika memasuki areal tersebut tercium oleh kami bau yang tidak sedap bau limbah pabrik. Baunya seperti bau kol yang du fermentasikan kedalam tong yang berminggu-minggu lamanya tidak pernah dibuka. Memasuki kawasan tersebut kami kembali disuguhi oleh jajaran Tanaman Hutan Industry (HTI) Akasia, namun tetap tidak membuat pandangan mata kami merasa nyaman tidak seperti melihat beberapa hamparan hutan alami yang ada dibeberapa sebagian wilayah Riau, bahkan di beberapa bagian wilayah dari HTI sedang dilakukan panen.
Tentu saja mata kami tertuju dengan gundulnya kawasan tersebut. Sampailah kami di daerah Mandau, bang Hisam menghidupakan GPS nya karena ada tanda wilayah yang kami tuju disana wilayah tasik betung. GPS (Global Positioning System) adalah sistem untuk menentukan posisi di permukaan bumi dengan bantuan sinkronisasi sinyal satelit. Sistem ini menggunakan 24 satelit yang mengirimkan sinyal gelombang mikro ke Bumi.
Sinyal ini diterima oleh alat penerima di permukaan, dan digunakan untuk menentukan posisi, kecepatan, arah, dan waktu. Sistem yang serupa dengan GPS antara lain GLONASSRusia, Galileo Uni Eropa, IRNSS India.Sistem ini dikembangkan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat, dengan nama lengkapnya adalah NAVSTAR GPS (kesalahan umum adalah bahwa NAVSTAR adalah sebuah singkatan, ini adalah salah, NAVSTAR adalah nama yang diberikan oleh John Walsh, seorang penentu kebijakan penting dalam program GPS).
Kumpulan satelit ini diurus oleh 50th Space Wing Angkatan Udara Amerika Serikat. Biaya perawatan sistem ini sekitar US$750 juta per tahun termasuk penggantian satelit lama, serta riset dan pengembangan.GPS Tracker atau sering disebut dengan GPS Tracking adalah teknologi AVL (Automated Vehicle Locater) yang memungkinkan pengguna untuk melacak posisi kendaraan, armada ataupun mobil dalam keadaan Real-Time. GPS Tracking memanfaatkan kombinasi teknologi GSM dan GPS untuk menentukan koordinat sebuah obyek, lalu menerjemahkannya dalam bentuk peta digital.
GPS yang kami gunakan menunjukan jalan menuju tasik serai, tentu saja ini menjadi perjalanan hal yang mudah karena kami memiliki penunjuk jalan. Tanpa aku sadari ternyata Resort Polsekta Mandau telah kami lalui dan berakir dengan jalan yang tak beraspal.
Kami sudah tidak tau lagi kemana arah perjalanan kami yang kami tau kami sedang mengikuti GPS yang menunjukan jalan kami karena disana juga terdaftar jalan menuju Tasik Betung. Namun sayang entah tahun berapa penandaan jalan di GPS itu diambil kami sepertinya hanya berputar-putar saja entah kemana.
Setelah menempuh jalan berjam-jam lamanya sampailah kami di persimpangan jalan yang cukup membingungkan, untunglah kami masih bisa bertemu orang yang dapat kami tanya dimana jalan menuju tasik betung. Namun hari sudah menunjukan pukul 19,45 WIB, kami belum juga menemukan jalan yang kami tuju. Beruntung kami menemukan pos security perkebunan PT Arara Abadi dengan kondisi yang gelap gulita, bahkan sang security mau menuntun kami menuju tasik betung.
Selang lima belas menit kemudian akirnya kami sampai juga diatasik betung, dan keberuntungan kami yang kedua adalah kami mendapatkan tempat untuk beristirahat malam ini.
Rabu (21/09) pagi, kami seger aberkemas-kemas untuk persiapan bertemu dengan Kepala Desa dan Ketua RT Karena tadi malam kami tidak memiliki kesempatan bertemu dengan beliau dikarena tidak berada dikediaman. Namun kesempatan pagi berjumpa dengan kepala desa juga kandas, kami hanya bertemu dengan ketua RT Dusun Seminai Kuning Desa Tasik Betung. “akh, tak apalah yang penting kami sudah melapor,” gumam ku.
Rencana kami kemudian beralih untuk melihat-lihat danau (tasik)dimana merupakan kawasan cagar bioefer, kami penasaran dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh masyarakat dusun seminai kuning ini yang mengatakan bahwa tasik saat ini mengalami kekeringan. Sudah empat bulan terakir ini tasik mengalami kekeringan, sehingga masyarakat tasik tidak dapat lagi menangkap ikan disana.
Sesampainya kami di Dusun Kampung Baru, kami segera menuju tasik. Dimana tasik ini merupakan akses masuk kedalam zona inti cagar biosfer, dan ternyata benar apa yang disampaikan oleh masyarakat tersebut bahwa tasik ini memang mengalami kekeringan, jauh dari lima bulan yang lalu. Anak-anak tasik betung saat itu masih senang bercengkarama dengan teman sebayanya sambil berenang di tasik tersebut.
Namun kini tasik yang kami kunjungi kali ini, benar-benar dalam keadaan yang kering kerontang. Tanah yang dulu sedikit berlumpur kini menjadi padat dan pecah-pecah serta sedikit di tumbuhi oleh gulma.
Dari arah kejahuan tampak oleh kami seorang nelayan yang sedang membawa lukah (alat tangkap tradisional yang digunakan untuk menangkap ikan yang terbuat dari bambu),lalu kami hampiri beliau dan sedikit mengobrol mengenai tasik ini.
“Maaf pak, apa banyak tangkapan ikan hari ini?” ujar ku, dengan sedikit terbata pria paruh baya itu menjawab pertanyaan ku, “aduh buk, liat saja lukah yang saya bawa ini masih kosong. Sudah beberapa bulan ini sangat sulit mendapatkan ikan di tasik ini lagi buk, maklumlah tasik ini kering semenjak empat bualan terkair ini karena lagi musim kemarau,” ujar pria paruh baya tersebut yang biasa dipanggil pak Dagang ini.
“Kalau mau dapat banyak ikan buk, harus ketengak tasik ini dulu karena disana masih banyak airnya. Tapi harus lewat perahu kecil dulu dan setelah itu baru naik pompong, tapi lokasinya kalau menuju ketengah itu harus jalan kaki dulu sekiar lima belas menit.” Ujar Dagang.
Pembicaraan tersebut harus berakir karena beliau harus bergegas menuju kediaman karena tidak tahan terlalu lama berada di tasik tersebut karena cuaca saat itu memang sedang terik sekali.
Setelah beberapa jam kami memantu lokasi yang merupakan cagar biosfer ini, kamipun berencana untuk segera pulang kembali menuju Pekanbaru, ditengah perjalanan kami singgah dahulu di warung yang ada di dusun kampung baru ini. Dan lagi kami mendengarkan pertanyaan yang miris dari masyarakat dusun kampong baru ini dengan menyatakan bahwa mereka tidak mengerti dan mengetahui mengenai apa itu cagar biosfer.
“Tak tau kami buk, apa itu cagar biosfer. Yang kami tau dulu disini ada orang jepang yang sedang penelitian.yang teringat sama kami waktu itu dia pernah bilang spasi tasik batung buk,” ujar ujang.
“Hah spasi pak?,spasi tasik betung?. Konservasi tasik betung kali pak,” ujar bg zein teman seperjalanku menuju tasik betung ini.
“Ntah lah pak, tah hapalah namanya. Kami kurang nergti juga dengan yang kayak gitu,” ujar ujang polos.
Dari pembicaraan tersebut semakin banyak pertanyaan yang muncul di kepala ku, salah satunya kenapa masyarakat di kawasan zona cagar biosfer ini tidak mengetahui tentang hal ini,,,,,
Padahal tasik betung ini termasuk wilayah yang sering di perbincangkan di beberapa daerah di Provinsi bahkan menajdi pembicaraan yang hangat di di dunia internasional. Bahkan baru-baru ini Pemerintah Provinsi akan mengadakan konverensi dengan 17 negara untuk membahas fungsi dari cagar biosfer tasik betung ini.
Kami sudah tidak tau lagi kemana arah perjalanan kami yang kami tau kami sedang mengikuti GPS yang menunjukan jalan kami karena disana juga terdaftar jalan menuju Tasik Betung. Namun sayang entah tahun berapa penandaan jalan di GPS itu diambil kami sepertinya hanya berputar-putar saja entah kemana.
Setelah menempuh jalan berjam-jam lamanya sampailah kami di persimpangan jalan yang cukup membingungkan, untunglah kami masih bisa bertemu orang yang dapat kami tanya dimana jalan menuju tasik betung. Namun hari sudah menunjukan pukul 19,45 WIB, kami belum juga menemukan jalan yang kami tuju. Beruntung kami menemukan pos security perkebunan PT Arara Abadi dengan kondisi yang gelap gulita, bahkan sang security mau menuntun kami menuju tasik betung.
Selang lima belas menit kemudian akirnya kami sampai juga diatasik betung, dan keberuntungan kami yang kedua adalah kami mendapatkan tempat untuk beristirahat malam ini.
Rabu (21/09) pagi, kami seger aberkemas-kemas untuk persiapan bertemu dengan Kepala Desa dan Ketua RT Karena tadi malam kami tidak memiliki kesempatan bertemu dengan beliau dikarena tidak berada dikediaman. Namun kesempatan pagi berjumpa dengan kepala desa juga kandas, kami hanya bertemu dengan ketua RT Dusun Seminai Kuning Desa Tasik Betung. “akh, tak apalah yang penting kami sudah melapor,” gumam ku.
Rencana kami kemudian beralih untuk melihat-lihat danau (tasik)dimana merupakan kawasan cagar bioefer, kami penasaran dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh masyarakat dusun seminai kuning ini yang mengatakan bahwa tasik saat ini mengalami kekeringan. Sudah empat bulan terakir ini tasik mengalami kekeringan, sehingga masyarakat tasik tidak dapat lagi menangkap ikan disana.
Sesampainya kami di Dusun Kampung Baru, kami segera menuju tasik. Dimana tasik ini merupakan akses masuk kedalam zona inti cagar biosfer, dan ternyata benar apa yang disampaikan oleh masyarakat tersebut bahwa tasik ini memang mengalami kekeringan, jauh dari lima bulan yang lalu. Anak-anak tasik betung saat itu masih senang bercengkarama dengan teman sebayanya sambil berenang di tasik tersebut.
Namun kini tasik yang kami kunjungi kali ini, benar-benar dalam keadaan yang kering kerontang. Tanah yang dulu sedikit berlumpur kini menjadi padat dan pecah-pecah serta sedikit di tumbuhi oleh gulma.
Dari arah kejahuan tampak oleh kami seorang nelayan yang sedang membawa lukah (alat tangkap tradisional yang digunakan untuk menangkap ikan yang terbuat dari bambu),lalu kami hampiri beliau dan sedikit mengobrol mengenai tasik ini.
“Maaf pak, apa banyak tangkapan ikan hari ini?” ujar ku, dengan sedikit terbata pria paruh baya itu menjawab pertanyaan ku, “aduh buk, liat saja lukah yang saya bawa ini masih kosong. Sudah beberapa bulan ini sangat sulit mendapatkan ikan di tasik ini lagi buk, maklumlah tasik ini kering semenjak empat bualan terkair ini karena lagi musim kemarau,” ujar pria paruh baya tersebut yang biasa dipanggil pak Dagang ini.
“Kalau mau dapat banyak ikan buk, harus ketengak tasik ini dulu karena disana masih banyak airnya. Tapi harus lewat perahu kecil dulu dan setelah itu baru naik pompong, tapi lokasinya kalau menuju ketengah itu harus jalan kaki dulu sekiar lima belas menit.” Ujar Dagang.
Pembicaraan tersebut harus berakir karena beliau harus bergegas menuju kediaman karena tidak tahan terlalu lama berada di tasik tersebut karena cuaca saat itu memang sedang terik sekali.
Setelah beberapa jam kami memantu lokasi yang merupakan cagar biosfer ini, kamipun berencana untuk segera pulang kembali menuju Pekanbaru, ditengah perjalanan kami singgah dahulu di warung yang ada di dusun kampung baru ini. Dan lagi kami mendengarkan pertanyaan yang miris dari masyarakat dusun kampong baru ini dengan menyatakan bahwa mereka tidak mengerti dan mengetahui mengenai apa itu cagar biosfer.
“Tak tau kami buk, apa itu cagar biosfer. Yang kami tau dulu disini ada orang jepang yang sedang penelitian.yang teringat sama kami waktu itu dia pernah bilang spasi tasik batung buk,” ujar ujang.
“Hah spasi pak?,spasi tasik betung?. Konservasi tasik betung kali pak,” ujar bg zein teman seperjalanku menuju tasik betung ini.
“Ntah lah pak, tah hapalah namanya. Kami kurang nergti juga dengan yang kayak gitu,” ujar ujang polos.
Dari pembicaraan tersebut semakin banyak pertanyaan yang muncul di kepala ku, salah satunya kenapa masyarakat di kawasan zona cagar biosfer ini tidak mengetahui tentang hal ini,,,,,
Padahal tasik betung ini termasuk wilayah yang sering di perbincangkan di beberapa daerah di Provinsi bahkan menajdi pembicaraan yang hangat di di dunia internasional. Bahkan baru-baru ini Pemerintah Provinsi akan mengadakan konverensi dengan 17 negara untuk membahas fungsi dari cagar biosfer tasik betung ini.
Komentar
Posting Komentar